Seputar Titipan

eka
2 min readMay 7, 2023

--

Lama sudah rasanya, tapi aku tak kunjung pandai juga menulis. Aku tak kunjung pandai mendeskripsikan letupan-letupan kecil di perutku saat bersama kamu. Aku tak kunjung pandai menuliskan bagaimana perasaan bahagia setiap melihat kamu di sudut ruangan, atau kalau tiba-tiba berpapasan secara tidak sengaja yang tiba-tiba saja membuatku jatuh di semesta kedua. Mungkin kamu tidak tau, karena aku malu dan hanya dengan tulisan aku bisa menjadi tidak tau malu.

Aku merasa diburu untuk bisa lebih pandai dalam menulis, lebih-lebih kalau kamu juga bisa ikut mengerti. Aku merasa harus lebih runtut menuliskan bagaimana senyum usil yang kamu padukan dengan mata teduh itu – bisa bikin otakku menjadi lebih sibuk daripada perempatan tengah kota di sore hari. Aku upayakan untuk segera menuliskannya dengan baik agar rasa takut kehilangan ini lebur dengan membaca ulang tulisan-tulisan dan merekamnya dalam ingatan, selamanya.

Mungkin lebih tepatnya, aku takut kehilangan kamu. Kamu dan es teh tawar kesukaanmu. Kamu dan seporsi Nasi Padang dengan lauk yang banyak. Kamu dan dua potong ayam favoritmu dengan setangkup nasi hangat. Kamu dan dering telepon di pukul 11 malam. Kamu dan seisinya, sekurangnya, selebihnya – yang sampai pukul 00.56 ini masih aku ingat setiap detailnya.

Kalau pun pada akhirnya aku tak kunjung pandai menulis dengan rapi dan mudah dimengerti, semoga nanti (paling tidak) aku bisa lebih pandai menulis daftar warung makan yang harus kita coba sembari berbincang perihal daftar mimpi-mimpimu yang selalu aku semogakan untuk terkabulkan dengan segera agar kamu berhenti meragukan dirimu sendiri.

Aku bisa merapalkan banyak doa untuk kamu; agar sehat, agar harinya selalu baik, agar gelisahnya cepat diambil alih dengan suka cita, agar mimpi-mimpinya segera masuk feed Instagram dengan caption panjang bercerita bahwa akhirnya kesampaian dan itu menjadi satu-satunya hal yang membuatmu menangis (haru), agar seriuh apapun keraguan yang kamu punya tidak lebih kencang dari tingkat percaya dirimu yang kadang membuatku meringis (geli).

Tapi, aku sungkan untuk merapalkan doa; agar senyum jail itu selalu menyapaku, agar mata teduh itu selalu menatapku penuh pengertian. Sebab, kamu, senyummu dan hatimu adalah punyamu – yang tidak pernah bisa aku cintai lebih lama dari siapapun yang lebih dulu ada di hidupmu. Sebab duniamu adalah milikmu, dan aku hanyalah salah satu dari sekian banyak penghuninya.

Menulismu adalah caraku untuk tidak kehilangan kamu. Syukur-syukur jika tawar menawarku dengan Tuhan berhasil untuk luruhkan semua raungku dalam rangkulmu, leburkan jagatmu dalam jangkauku, dan larikan semua laraku pada tawamu.

Berbahagialah.

--

--